Buat temen-temen yang sedang nyusun skripsi, silahkan gunakan artikel ini sebagai contoh bukan sebagai bahan copy paste yaahh...
Pasar 16 Ilir Palembang :Tinjauan Arsitektur
Oleh : Balkis Kalama Jusi Masruroh
A.
Latar Belakang
Seperti
kota-kota pada umumnya Palembang tidak bisa melepaskan diri dari adanya pusat
kegiatan komersial berupa pasar.
Pasar merupakan suatu tempat dimana penjual dan pembeli bertemu. Sesuai pendapat Adam
Smith bahwa telah menjadi sifat manusia untuk berdagang dan mempertukarkan satu
barang dengan barang lainnya yang didasari oleh kebutuhan masing-masing
manusia. Kecendrungan ini merupakan sesuatu yang universal tak terbatas pada tempat dan waktu. Karena itu ia
mengungkapkan bila sistem yang serupa dengan pasar telah ditemukan pula sejak
zaman kuno.[1]
Pada masa
keraton, pasar di Palembang melakukan kegiatan jual belinya langsung di
permukaan air melalui rumah-rumah rakit yang digunakan sebagai area tempat toko
berdagang, gudang, pusat kerajinan tangan bahkan sering pula di jadikan sebagai
tempat tinggal para pedagang. J.L Van Sevenhoven menggambarkan pula kesibukan
perdagangan masyarakat Palembang pada tahun 1821 ketika ia menjabat sebagai regeeringscommissaris, komisaris
pemerintah Batavia di Palembang. Begitu ramai kapal-kapal yang berlayar
disungai Musi baik itu kapal pribumi ataupun kapal cina diantara kapal-kapal
tersebut banyak pula yang menjadi toko terapung. Tiap kapal penuh dengan barang
dagangan yang berbagai macam jenisnya, ada yang menjual kain-kain lina, cita,
sutera, ada pula penjual makanan yang menjajankan makanan rebus dan goreng,
sayur-sayuran, buah, ikan serta daging.
Eksistensi
pasar terapung ini tidak lain disebabkan oleh banyaknya sungai yang berada di
pusat kota Palembang, paling sedikit tercatat lebih kurang 117 buah anak sungai
yang mengalir di tengah kota Palembang.[2]
Hal ini didukung pula oleh pendapat Wolters
yang dikutip dalam buku Venesia Dari Timur, Ia menyatakan bahwa Palembang
adalah Riverine Culture yaitu sebuah
kebudayaan yang dihasilkan oleh para penduduk di tepi-tepi sungai. Hal ini terlihat
dari peran sungai yang menjadi pusat kehidupan. Sungai dijadikan sumber
kehidupan, media transportasi dan sarana
komunikasi. Karena peran sungai yang begitu besar inilah maka dalam berbagai
artikel dan laporan-laporan yang dibuat oleh Belanda, Palembang sering disebut Venetie van Oost, de Oostersch Venetie, de
Indisch Venetie, The Venice of the East, atau Venesia dari Timur.[3]
hingga tak mengherankan jika sendi-sendi kehidupan masyarakat Palembang sangat
tergantung pada kayuhan dayung dan perahu baik pada masa sungai pasang maupun
surut.
Sebagai tuntutan
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi maka hampir disetiap aliran sungai Musi
berdiri pasar-pasar terapung tempat pedagang dan konsumen berinteraksi menjualbelikan
barang dagangan dari atas sungai. Pasar 16 Ilir adalah salah satu pasar yang berawal dari
pasar terapung, tempatnya dipusat kota pada kampung 16 Ilir sebelah timur muara
sungai tengkuruk. Pasar ini dari dulu sampai sekarang merupakan pasar utama di
kota Palembang, dipasar ini diperdagangkan hasil bumi, bahan makanan, dan
barang-barang kelontong. para pedagang dan pembeli yang datang ke pasar ini
menggunakan perahu melalui sungai Tengkuruk dan sungai Musi.[4] Fenomena pasar
terapung ini yang dulu terbentuk dari kegiatan pertemuan perahu-perahu di sungai
lama-kelamaan menetap secara khusus pada beberapa tempat tertentu.
Hal
ini dikarenakan wilayah tersebut adalah
lingkungan permukiman pribumi di tepian sungai. Maka perlahan-lahan para
pedagang yang awalnya hanya berjualan di atas sungai kini mulai menetap di darat
dan membuat lapak-lapak.
Di
antara Pasar-pasar yang ada di Palembang sejak masa Kesultanan seperti Pasar 16 Ilir, Pasar
Sekanak, dan Pasar Kuto. Dapat dikatakan bahwa Pasar 16 Ilir merupakan pasar
yang lebih utama. Hal ini karena melihat posisi pasar 16 Ilir yang berada di
pinggir sungai Musi, tepatnya di tengah antara hilir dan hulu sungai, sangatlah
strategis. Apalagi lokasi pasar yang berdekatan dengan keraton atau titik
sentral kota Palembang menjadi nilai tambah tersendiri bagi Pasar 16 Ilir. Maka
tak heran jika Pasar ini menjadi pusat perdagangan selain itu sering pula dijadi tempat transit bagi
para pendatang dari kawasan Sumatera Selatan dan termasuk juga pedagang yang
membawa dagangan.
Memasuki
zaman Kolonial Pasar 16 Ilir mulai memiliki wajah baru. Belanda mulai
menanamkan kekuasaannya di Palembang sejak tahun 1821 hal ini ditandai dengan
adanya penyerangan militer Belanda ke Palembang pada bulan Juni 1821,
penyerangan ini dibawah pimpinan Mayor Jendral H.M. de Kock. Ekspedisi militer
ini dikirim dari Batavia guna menghancurkan perlawanan serta menguasai
Kesultanan Palembang.[5]
Pertempuran yang terjadi selama dua minggu tersebut memberikan kekalahan besar
dari pihak Kesultanan Palembang hingga keraton Palembang mampu dikuasai Belanda
serta Sultan Mahmud Badarudin dijadikan tawanan di Batavia. Kemudian pada tahun
1824 Sistem Kesultanan Palembang mulai dihapus oleh pemerintah Belanda yang
kemudian diganti menjadi Keresidenan Palembang.[6]
Walaupun
Belanda telah berkuasa atas Palembang sejak 1821 namun dilihat dari perkembangan fisik sampai menjelang awal
abad 20 hampir tidak ada yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Tindakan ini
disebabkan karena Pemerintah Belanda masih disibukan untuk menanamkan hegemoni
politik terhadap daerah-daerah pedalaman bekas wilayah Kesultanan Palembang.[7]
Barulah ketika menjelang abad ke-20 dimana Belanda telah berhasil
mengintensifkan kekuasaannya diseluruh wilayah bekas kekuasaan Kesultanan
Palembang sampai ke marga-marga, Dusun-dusun, dan kampung-kampung maka Belanda
mulai mengalihkan perhatiannya pada tata
kota dan pembangunan kota Palembang.[8]
Pembangunan awal Pasar 16 Ilir pada masa kolonial justru dilakukan oleh
saudagar-saudagar Arab di Palembang. Hal ini berkaitan erat dengan semakin
pesatnya perdagangan di Pelabuhan Palembang.
Introduksi
pelayaran kapal api menimbulkan revolusi lalu lintas perdagangan Palembang,
baik interen maupun ekstern. Pada tahun 1870-an sebagian besar perdagangan
dipalembang masih dikuasai Pangeran Syarif Ali Syekh Abu Bakar dan keluarganya.
Akan tetapi, dominasi ekonomi Alawiyin terancam berat oleh perusahaan
perkapalan dari Batavia dan Singapura, yang segera meluaskan kegiatan mereka ke
Palembang.[9] Ramainya
perdagangan di Palembang disebabkan oleh posisi strategis yang dimiliki oleh
Pelabuhan Palembang sebab Sungai Musi memiliki kedalaman yang dapat dilalui
oleh kapal-kapal besar, daerah cukup luas, dan hubungan dengan daerah pedalaman
melalui sungai mampu menopang aktivitas perdagangan.[10]
Sejak
tahun 1879, Palembang dihubungkan dengan Batavia dan Singapura oleh kapal milik
Nederlandse Stoomvaart Maatschappij
dua kali sebulan, sedangkan dari Singapura satu bulan sekali juga bertolak tiga
kapal ke Palembang. Pada Tahun yang sama, Palembang dihubungkan pula dengan
pelabuhan semarang lewat Cirebon dan Batavia.[11]
Kapasitas yang berlebihan sejak tahun 80-an menyebabkan persaingan yang
mematikan di pelabuhan Palembang. Pemilik kapal layar yang bermodal kecil tidak
dapat bertahan lama melawan kongsi kapal api. Pada tahun 1884, hanya kongsi
Assegaf dan Almunawar yang mampu mengoperasikan kapal uap kecil di jalur antara
Bangka dan Palembang namun tidak begitu menguntungkan. Sesudah tahun 1890
armada niaga milik para sayid mengalami kerugian dan kemudian pelayaran dihentikan
pada dasawarsa pertama abad ke-20.[12]
Setelah
pelayaran dengan menggunakan kapal uap gagal maka para Sayid mengalihkan
perhatiannya pada kampung 16 ilir. Pertumbuhan kegiatan perekonomian di
Palembang pada akhir abad ke 20 membuat tekanan ruang hidup dikota semakin
meningkat pesat. Maka untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi di pusat kota
Palembang para Sayid segera mengambil peluang yang menguntungkan dengan
menambahkan ruang di sektor perdagangan pada tahun 1871. Hal tersebut ditandai
dengan dibangunnya perluasan dermaga di tepi sungai kampung 16 ilir dan
kemudian kaplingan-kaplingan tanah disekitar dermaga tersebut dibagikan untuk
membangun perkampungan pasar batu.[13]
Pasar 16 ilir sebagian besar dibangun dengan modal Saudagar keturunan Arab,
yang menyewakan toko-toko miliknya kepada pedagang-pedagang kecil Palembang.
Akibat dari peran besar yang dimiliki para Sayid atas Pasar 16 inilah maka
mereka melalui Perusahaan pedagang kolonial di jawa menjadi agen berbagai
barang impor, yang diperdagangkan kepada para distributor di desa. Selain itu
sebagian besar perdagangan tekstil dikendalikan oleh Sayid Palembang yang
membeli batik dari pengusaha Hadramaut di Palembang. Salah satu pedagang arab
tersebut adalah Syeikh Syehab, selain memiliki firma keluarga di bidang
bangunan ia juga adalah seorang arsitek maka ialah yang menjadi pemborong
perumahan-perumahan Eropa di Talang semut.
Berikutnya
ketika Liberalisme bangkit di Eropa yang menyebabkan perubahan pula pada daerah
tanah jajahan, hal ini membawa implikasi yang tidak kecil bagi perkembangan
kota Palembang. Dengan lahirnya Undang-undang Desentralisasi, yaitu
terbentuknya kota otonom, Maka pada tanggal 1 April, kota Palembang dijadikan Gemeente (Kota besar zaman kolonial ) yang ditegaskan dalam Staatblad
1906 No. 126.[14]
Dengan demikian Palembang yang telah diubah menjadi Keresidenan Palembang sejak
tahun 1906 menjadi Stadsgemeente
(Kota besar Zaman Kolonial) yang
dikepalai oleh seorang Burgemeester
(Walikota pada masa Kolonial). Meskipun demikian pada faktanya secara fisik
kebijakan membangun Palembang baru dimulai setelah 13 tahun kemudian.
Pada
tahun 1919 dimulailah pembangunan Palembang. Pembangunan ini lebih bertujuan
untuk menghapus memori-memori masyarakat tentang Kesultanan Palembang dan
menggantinya dengan simbol-simbol kolonial daripada untuk melakukan pembaruan
di Palembang. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk menciptakan
fasilitas-fasilitas bagi pemerintah kolonial. Maka sebelum abad ke-20 di
sebelah barat keraton kuto besak dibangunlah gedung societiet yang kini merupakan Gedung Pamong Peradja, schouwburg, dan bioskop Flora serta
Pasar 16 ilir mulai dibangun los-los yang lebih banyak.[15]
Ketika
memasuki awal abad ke-20 keberadaan Gemeente
semakin menjadikan kota Palembang sebagai kota yang bernuansa modern dengan
konstruksi ruang fisik yang indah dan teratur. Secara umum menurut rancangan Gemeente, Palembang di bagi menjadi
empat wilayah pembangunan. Pertama zona perniagaan, yang memanjang
sepanjang aliran sungai bagian ilir termasuk pasar 16 Ilir yang di jadikan sebagai
pasar Induk.[16]
Hal ini dikarenakan Pasar 16 ilir telah dikelola oleh Gemeente dengan baik
hingga berubah menjadi Pasar Modern. Los-los lama yang di bangun oleh Pedagang
Arab kini telah diganti dan diperbaiki dengan Los-los pasar baru yang dianggap
jauh lebih baik dan hiegenis dari pada bangunan sebelumnya. kedua zona
industri, memanjang sepanjang aliran sungai musi pada bagian ulu, ketiga zona
perkantoran, yang berada di pusat kota, keempat zona pemukiman, yang
terletak di bagian barat pusat kota.[17]
Dapat
dikatakan Pasar 16 ilir adalah pasar pertama dan menjadi pusat seluruh
aktivitas perdagangan di Palembang. Petani yang berasal dari pedalaman membawa
seluruh hasil tanaman dagang ke Pasar 16 Ilir. Sebaliknya para pedagang
menikmati untung melalui tukar menukar komoditas. Hampir seluruh suplai produk
dari uluan langsung ditujukan ke pasar pusat. Oleh karena itu pada 1920-an
pasar 16 ilir menjadi pusat perdagangan karet terpenting, dari sini dilakukan
ekspor ke Singapura yang pada saat itu menjadi pusat industri karet yang mengelola
lateks menjadi sheets.
Memasuki
dasawarsa kedua abad ke-20, tahun 1930-an Palembang muncul sebagai Wingewesten atau daerah untung yang
merupakan sebutan-sebutan untuk daerah-daerah yang dieksploitasi secara
ekonomi. Realitas konstruksi kota dagang dengan adanya hal ini semakin mendapat
tempatnya ketika kemajuan dalam perdagangan ekspor karet. Berharganya rubber, getah
karet mebuat palembang menjadi kota yang ramai dengan banyak sekali
perubahan-perubahan yang ada. Konstruksi ideologis bekerja dengan baik dalam
pembentukan berbagai “Bangunan Ekonomi”. Keberadaan bangunan tersebut tidak
lepas, berbarengan dengan penyediaan segala fasilitas kota untuk dunia
perdagangan. Pasar di Palembang mengalami perkembangan yang luar biasa pesat.
Pada tahun 1932 terdapat dua kategori pasar yaitu pasar besar dan pasar kecil.[18] Pasar
besar terdapat di 16 Ilir dan Pasar Sekanak di 28 Ilir. Sedangkan pasar kecil
berada di Pasar Kuto daerah 10 ilir, Pasar 10 ulu, pasar kertapati, dan pasar Lemabang di 2 Ilir.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana Sejarah Pasar 16 Ilir
Palembang.?
2.
Bagaimana Perubahan dan
Perkembangan Pasar 16 Ilir pada masa Kolonial.?
3.
Bagaimana peran dan fungsi Pasar
16 Ilir pada masa Kolonial Belanda.?
C.
Definisi Operasional
Sesuai
dengan judul penelitian ini yaitu, Sejarah Pasar 16 Ilir Palembang Pada Masa
Kolonial: dari Pasar Tradisional Menuju Pasar Modern. Maka definisi operasionalnya
adalah sebagai berikut:
Sejarah
adalah cerita atau uraian peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi pada
masa lampau.[19]
Pengertian yang lebih komperhensip tentang sejarah adalah kisah dan peristiwa
masa lampau umat manusia. Defenisi ini mengandung dua makna sekaligus yakni
sejarah sebagai kisah atau cerita dan sebagai peristiwa. Sejarah sebagai kisah
merupakan sejarah dalam pengertian secara subjektif, karena peristiwa masa lalu
itu telah menjadi pengetahuan manusia. Sedangkan sejarah sebagai peristiwa
merupakan sejarah secara objektif, sebab peristiwa masa lalu itu sebagai
kenyataan yang masih diluar pengetahuan manusia.[20]
Kemudian makna
pasar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat orang berjual beli.[21]
Masa Kolonial adalah masa di mana penjajah Belanda berhasil menanamkan
kekuasaannya di Palembang yaitu dimulai pada tahun 1821 ketika Belanda berhasil
merebut keraton Palembang[22]
dan berakhir pada tahun 1942 ketika pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa
syarat pada balatentara Dai Nippon Jepang.[23]
Tradisional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sikap dan cara berpikir
serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang
ada secara turun-temurun menurut tradisi.[24]
D.
Tinjauan Pustaka
Dalam Buku
Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan
Pelembang 1824-1864 yang merupakan hasil penelitian Supriyanto telah
diungkap bagaimana perkembangan pesat Perdagangan di Palembang yang disebabkan
oleh letak Pelabuhan Palembang yang strategis dan aman serta hasil-hasil bumi
dari daerah iliran maupun uluan baik berupa tanaman-tanaman seperti kayu, lada,
cengkeh kopi maupun yang berupa tambang minyak, batu bara dan timah yang
semakin meningkat. Buku tersebut mengangkat tentang keadaan sosial ekonomi
Palembang pada masa Kolonial maka hal ini sangat berkaitan erat dengan penelitian
yang akan dilakukan karena dalam penelitian Sejarah Pasar 16 Ilir Palembang:
dari Pasar Tradisional Menuju Pasar Modern juga mengangkat tema sosial ekonomi
dimana didalamnya akan digambarkan bagaimana keadaan perekonomian Palembang pada masa kolonial Belanda, serta
bagaimana gejolak sosial masyarakat yang mengakibatkan semakin meningkat dan
berkembangnya perdagangan didalam kota Palembang.
Karya lainnya yang menjadi acuan dari penelitian ini adalah Buku yang
dihasilkan oleh Dedi Irwanto Muhammad Santun dengan judul Venesia Dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota
Palembang Dari Kolonial Sampai Pasca Kolonial. Dari buku tersebut digambarkan
bagaimana riwayat Palembang sebagai sebuah kota yang menganut budaya Riverine Culture , serta metamorfosis
Palembang pada masa Belanda yang menyebabkan Palembang tidak hanya mengalami
konstruksi fisik tetapi juga konstruksi ideologis. senada
dengan inti dari buku tersebut penelitian ini pun mengamati tentang perubahan
Pasar 16 Ilir yang dari pasar tradisional menuju pasar modern. dimana pasar 16
Ilir termasuk zona perdagangan modern
dalam konsep perencanaan pembangunan Gemeente, rekonstruksi besar-besaran terjadi
disini yang meliputi fisik, fungsi serta peran.
E.
Kerangka Teori
Sesuai
dengan keadaan Pasar 16 Ilir yang mengalami perubahan dari pasar tradisional
menjadi pasar modern maka akan dipakai teori modernisasi dari Wilbert Moore. Modernisasi
merupakan proses bertahap dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat
tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi. Pada
masa tradisional hanya mengalami sedikit perubahan social atau malah mengalami
kemandegan sama sekali. Kemudian perlahan-lahan Negara mengalami perubahan
dengan adanya pengaruh ekonomi dari kaum usahawan seperti perluasan pasar dan
pembangunan industri.
Wilbert
Moore mendefinisikan modernisasi sebagai transformasi total masyarakat
tradisional atau pra-modern ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi social
yang menyerupai kemajuan dunia barat yang ekonominya makmur dan situasi
politiknya stabil.
F.
Metode Penelitian
Pasar 16
Ilir dalam pandangan masyarakat saat ini merupakan pasar besar yang terletak
pada jantung Kota Palembang namun lambat laun bukan tidak mungkin Pasar 16 Ilir
akan tersingkirkan oleh perkembangan
modernitas hingga pasar ini dianggap sebagai tempat kelas dua. Pasar-pasar
telah kehilangan peminatnya dengan semakin banyaknya Mall yang didirikan di
kota Palembang. Namun dari pandangan Sejarah, Pasar 16 Ilir memiliki
keistimewaannya sendiri, karena ia merupakan simbol dari kehidupan perekonomian
Palembang sejak zaman kesultanan hingga kini. Dalam menyikapi peninggalan
sejarah yang ada di daerah Palembang ini maka penulis menganggap perlu ntuk
mengulas bagaimana Sejarah pembangunan Pasar 16 Ilir. Untuk dapat menggambarkan
dengan jelas serpihan-serpihan masa lalu tersebut maka tidak ada cara lain
selain diadakannya penelitian terhadap Pasar 16 Ilir. Data-data tentang pasar
16 Ilir di analisis dan di sistematiskan pemikirannya agar menjadi aman dalam
penggambaran peristiwa masa silam.
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripsi kualitatif dan menggunakan pendekatan
sejarah atau Historical Approach,
yaitu merekonstruksi sejarah dengan mengumpulkan sumber-sumber data yang
berkenaan dengan sejarah pembangunan Pasar 16 Ilir pada masa kolonial Belanda..
2.
Sumber Data
a.
Data Primer, yaitu data-data yang
diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian yang
akan ditulis seperti sejarahwan Palembang, budayawan-budayawan
Palembang dan pihak-pihak lain yang mengetahui tentang sejarah Pasar 16 Ilir
Palembang.
b.
Data Sekunder, yaitu data
penunjang yang diperoleh dari buku-buku, dan arsip yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Dalam pengambilan data dari berbagai sumber
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
·
Heuristik
Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian
sejarah yaitu mencari dan menggumpulkan berbagai sumber data yang terkait
dengan masalah yang sedang diteliti.
·
Kritik Sumber
Keritik sumber atau Verifikasi adalah tahap kedua
dalam penelitian sejarah dimana data-data yang berhasil dikumpulkan untuk
penelitian diseleksi melalui pegecekan yang disebut dengan keritik.[25]
3.
Analisis Data
Analisis data yaitu
proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik, transkip wawancara, catatan
lapangan dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk dipahami agar dapat
dipersentasikan.[26]
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif.
Dalam menganalisis
data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Interpretasi
Dari berbagai fakta yang telah diperoleh, kemudian
dirangkai agar mempunyai struktur. Interpretasi ini perlu dilakukan untuk
mendapatkan penafsiran data yang jelas.
b.
Historiografi
Setelah berhasil melakukan penafsiran, langkah akhir
yang dilakukan yaitu menuliskan hasilnya. Dalam hal ini penulis menuangkan
tulisannya dalam bentuk skripsi yang terdiri dalam empat bab. Dari empat bab,
tiap-tiap bab memiliki beberapa seb bahasan tersendiri.
G.
Sistematika Penulisan
Bab
I : Adalah pendahuluan yang terdiri
dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, defenisi operasional, metodelogi penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab
II : Diungkapkan gambaran umum
keresidenan Palembang yang mencakup di dalamnya fakta geografi, keadaan sosial
ekonomi, dan sosial budaya.
Bab
III : Membahas mengenai asal usul Pasar
16 Ilir. serta bagaimana keadaan pasar 16 Ilir sebelum masuknya kolonial
Belanda. (1921-1942). Serta memaparkan faktor-faktor diadakannya pembangunan
Pasar 16 Ilir oleh Belanda. Juga bagaimana perubahan tata ruang dan fungsi
Pasar 16 Ilir pada masa Kolonial
(1921-1942).
Bab
IV : Merupakan penutup yang berisi
tentang kesimpulan dan saran.
H. Daftar Pustaka
Alfian T. Ibrahim, dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sumatera Selatan. Palembang: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1983.
Arifin Imron. Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan .
Jakarta: TTp Kalimasahada
Press.1994.
Bambang Budi Utomo dan Djohan Hanafiah. Kota Palembang: Dari Wanua Sriwijaya Menuju
Palembang Modern. Palembang, Palembang: Pemerintah Kota Palembang. 2010.
C.S.T. Kansil dan Julianto. Sejarah
Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka,
2005.
Dudung Abdurahman, Metodelogi Penelitian Sejarah, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Jeroen Peeters.
Kaum Tuo-Kaum Mudo:
Perubahan Religius di Palembang 1821- 1942. Jakarta: INIS, 1997.
Heilbroner Robert L.
Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Jakarta: PT.
Bumi Aksara,1994.
Santun Dedi Irwanto Muhammad. Venesia Dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik
Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial. Yogyakarta: Ombak, 2011.
Sjamsudin Helius, Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: Eja Publisher, 2010.
Supriyanto. Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Palembang 1824-1864. Yogyakarta: Ombak. 2013
[2] Venesia hlm 27
[3] Dedi
Irwanto Muhammad Santun, Venesia dari
Timur:Memaknai
Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial.
(Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 35.
[4] Bambang Budi Utomo dan Djohan Hanafiah, Kota Palembang: Dari Wanua Sriwijaya Menuju
Palembang Modern. Palembang (Palembang: Pemerintah Kota Palembang, 2010), h.
261
[19] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.998
[21] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.1011.
[22] Jeroen
Peeters, Kaum Tuo- Kaum Mudo perubahan Religius
Di Palembang (Jakarta: INIS, 1997), h. 9.
[23] C.S.T. Kansil dan
Julianto, Sejarah Perjuangan Pergerakan
Kebangsaan Indonesia (Jakarta: Erlangga, 1982), h.47
[24] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.1201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar