Translate

Jumat, 19 Desember 2014

Proposal Skripsi Sejarah Punya Balkis Masruroh


Buat temen-temen yang sedang nyusun skripsi, silahkan gunakan artikel ini sebagai contoh bukan sebagai bahan copy paste yaahh...


Pasar 16 Ilir Palembang :Tinjauan Arsitektur

Oleh : Balkis Kalama Jusi Masruroh


A.    Latar Belakang
Seperti kota-kota pada umumnya Palembang tidak bisa melepaskan diri dari adanya pusat kegiatan komersial berupa pasar. Pasar merupakan suatu tempat dimana penjual dan pembeli bertemu. Sesuai pendapat Adam Smith bahwa telah menjadi sifat manusia untuk berdagang dan mempertukarkan satu barang dengan barang lainnya yang didasari oleh kebutuhan masing-masing manusia. Kecendrungan ini merupakan sesuatu yang universal tak  terbatas pada tempat dan waktu. Karena itu ia mengungkapkan bila sistem yang serupa dengan pasar telah ditemukan pula sejak zaman kuno.[1]
Pada masa keraton, pasar di Palembang melakukan kegiatan jual belinya langsung di permukaan air melalui rumah-rumah rakit yang digunakan sebagai area tempat toko berdagang, gudang, pusat kerajinan tangan bahkan sering pula di jadikan sebagai tempat tinggal para pedagang. J.L Van Sevenhoven menggambarkan pula kesibukan perdagangan masyarakat Palembang pada tahun 1821 ketika ia menjabat sebagai regeeringscommissaris, komisaris pemerintah Batavia di Palembang. Begitu ramai kapal-kapal yang berlayar disungai Musi baik itu kapal pribumi ataupun kapal cina diantara kapal-kapal tersebut banyak pula yang menjadi toko terapung. Tiap kapal penuh dengan barang dagangan yang berbagai macam jenisnya, ada yang menjual kain-kain lina, cita, sutera, ada pula penjual makanan yang menjajankan makanan rebus dan goreng, sayur-sayuran, buah, ikan serta daging.
Eksistensi pasar terapung ini tidak lain disebabkan oleh banyaknya sungai yang berada di pusat kota Palembang, paling sedikit tercatat lebih kurang 117 buah anak sungai yang mengalir di tengah kota Palembang.[2] Hal ini didukung pula oleh pendapat Wolters yang dikutip dalam buku Venesia Dari Timur, Ia menyatakan bahwa Palembang adalah Riverine Culture yaitu sebuah kebudayaan yang dihasilkan oleh para penduduk di tepi-tepi sungai. Hal ini terlihat dari peran sungai yang menjadi pusat kehidupan. Sungai dijadikan sumber kehidupan, media transportasi  dan sarana komunikasi. Karena peran sungai yang begitu besar inilah maka dalam berbagai artikel dan laporan-laporan yang dibuat oleh Belanda, Palembang sering disebut Venetie van Oost, de Oostersch Venetie, de Indisch Venetie, The Venice of the East, atau Venesia dari Timur.[3] hingga tak mengherankan jika sendi-sendi kehidupan masyarakat Palembang sangat tergantung pada kayuhan dayung dan perahu baik pada masa sungai pasang maupun surut.
Sebagai tuntutan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi maka hampir disetiap aliran sungai Musi berdiri pasar-pasar terapung tempat pedagang dan konsumen berinteraksi menjualbelikan barang dagangan dari atas sungai. Pasar 16 Ilir adalah salah satu pasar yang berawal dari pasar terapung, tempatnya dipusat kota pada kampung 16 Ilir sebelah timur muara sungai tengkuruk. Pasar ini dari dulu sampai sekarang merupakan pasar utama di kota Palembang, dipasar ini diperdagangkan hasil bumi, bahan makanan, dan barang-barang kelontong. para pedagang dan pembeli yang datang ke pasar ini menggunakan perahu melalui sungai Tengkuruk dan sungai Musi.[4] Fenomena pasar terapung ini yang dulu terbentuk dari kegiatan pertemuan perahu-perahu di sungai lama-kelamaan menetap secara khusus pada beberapa tempat tertentu. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut  adalah lingkungan permukiman pribumi di tepian sungai. Maka perlahan-lahan para pedagang yang awalnya hanya berjualan di atas sungai kini mulai menetap di darat dan membuat lapak-lapak.
Di antara Pasar-pasar yang ada di Palembang sejak masa Kesultanan seperti Pasar 16 Ilir, Pasar Sekanak, dan Pasar Kuto. Dapat dikatakan bahwa Pasar 16 Ilir merupakan pasar yang lebih utama. Hal ini karena melihat posisi pasar 16 Ilir yang berada di pinggir sungai Musi, tepatnya di tengah antara hilir dan hulu sungai, sangatlah strategis. Apalagi lokasi pasar yang berdekatan dengan keraton atau titik sentral kota Palembang menjadi nilai tambah tersendiri bagi Pasar 16 Ilir. Maka tak heran jika Pasar ini menjadi pusat perdagangan  selain itu sering pula dijadi tempat transit bagi para pendatang dari kawasan Sumatera Selatan dan termasuk juga pedagang yang membawa dagangan.
Memasuki zaman Kolonial Pasar 16 Ilir mulai memiliki wajah baru. Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Palembang sejak tahun 1821 hal ini ditandai dengan adanya penyerangan militer Belanda ke Palembang pada bulan Juni 1821, penyerangan ini dibawah pimpinan Mayor Jendral H.M. de Kock. Ekspedisi militer ini dikirim dari Batavia guna menghancurkan perlawanan serta menguasai Kesultanan Palembang.[5] Pertempuran yang terjadi selama dua minggu tersebut memberikan kekalahan besar dari pihak Kesultanan Palembang hingga keraton Palembang mampu dikuasai Belanda serta Sultan Mahmud Badarudin dijadikan tawanan di Batavia. Kemudian pada tahun 1824 Sistem Kesultanan Palembang mulai dihapus oleh pemerintah Belanda yang kemudian diganti menjadi Keresidenan Palembang.[6]
Walaupun Belanda telah berkuasa atas Palembang sejak 1821 namun dilihat  dari perkembangan fisik sampai menjelang awal abad 20 hampir tidak ada yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Tindakan ini disebabkan karena Pemerintah Belanda masih disibukan untuk menanamkan hegemoni politik terhadap daerah-daerah pedalaman bekas wilayah Kesultanan Palembang.[7] Barulah ketika menjelang abad ke-20 dimana Belanda telah berhasil mengintensifkan kekuasaannya diseluruh wilayah bekas kekuasaan Kesultanan Palembang sampai ke marga-marga, Dusun-dusun, dan kampung-kampung maka Belanda mulai mengalihkan perhatiannya pada  tata kota dan pembangunan kota Palembang.[8] Pembangunan awal Pasar 16 Ilir pada masa kolonial justru dilakukan oleh saudagar-saudagar Arab di Palembang. Hal ini berkaitan erat dengan semakin pesatnya perdagangan di Pelabuhan Palembang.
Introduksi pelayaran kapal api menimbulkan revolusi lalu lintas perdagangan Palembang, baik interen maupun ekstern. Pada tahun 1870-an sebagian besar perdagangan dipalembang masih dikuasai Pangeran Syarif Ali Syekh Abu Bakar dan keluarganya. Akan tetapi, dominasi ekonomi Alawiyin terancam berat oleh perusahaan perkapalan dari Batavia dan Singapura, yang segera meluaskan kegiatan mereka ke Palembang.[9] Ramainya perdagangan di Palembang disebabkan oleh posisi strategis yang dimiliki oleh Pelabuhan Palembang sebab Sungai Musi memiliki kedalaman yang dapat dilalui oleh kapal-kapal besar, daerah cukup luas, dan hubungan dengan daerah pedalaman melalui sungai mampu menopang aktivitas perdagangan.[10]
Sejak tahun 1879, Palembang dihubungkan dengan Batavia dan Singapura oleh kapal milik Nederlandse Stoomvaart Maatschappij dua kali sebulan, sedangkan dari Singapura satu bulan sekali juga bertolak tiga kapal ke Palembang. Pada Tahun yang sama, Palembang dihubungkan pula dengan pelabuhan semarang lewat Cirebon dan Batavia.[11] Kapasitas yang berlebihan sejak tahun 80-an menyebabkan persaingan yang mematikan di pelabuhan Palembang. Pemilik kapal layar yang bermodal kecil tidak dapat bertahan lama melawan kongsi kapal api. Pada tahun 1884, hanya kongsi Assegaf dan Almunawar yang mampu mengoperasikan kapal uap kecil di jalur antara Bangka dan Palembang namun tidak begitu menguntungkan. Sesudah tahun 1890 armada niaga milik para sayid mengalami kerugian dan kemudian pelayaran dihentikan pada dasawarsa pertama abad ke-20.[12]
Setelah pelayaran dengan menggunakan kapal uap gagal maka para Sayid mengalihkan perhatiannya pada kampung 16 ilir. Pertumbuhan kegiatan perekonomian di Palembang pada akhir abad ke 20 membuat tekanan ruang hidup dikota semakin meningkat pesat. Maka untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi di pusat kota Palembang para Sayid segera mengambil peluang yang menguntungkan dengan menambahkan ruang di sektor perdagangan pada tahun 1871. Hal tersebut ditandai dengan dibangunnya perluasan dermaga di tepi sungai kampung 16 ilir dan kemudian kaplingan-kaplingan tanah disekitar dermaga tersebut dibagikan untuk membangun perkampungan pasar batu.[13] Pasar 16 ilir sebagian besar dibangun dengan modal Saudagar keturunan Arab, yang menyewakan toko-toko miliknya kepada pedagang-pedagang kecil Palembang. Akibat dari peran besar yang dimiliki para Sayid atas Pasar 16 inilah maka mereka melalui Perusahaan pedagang kolonial di jawa menjadi agen berbagai barang impor, yang diperdagangkan kepada para distributor di desa. Selain itu sebagian besar perdagangan tekstil dikendalikan oleh Sayid Palembang yang membeli batik dari pengusaha Hadramaut di Palembang. Salah satu pedagang arab tersebut adalah Syeikh Syehab, selain memiliki firma keluarga di bidang bangunan ia juga adalah seorang arsitek maka ialah yang menjadi pemborong perumahan-perumahan Eropa di Talang semut.
Berikutnya ketika Liberalisme bangkit di Eropa yang menyebabkan perubahan pula pada daerah tanah jajahan, hal ini membawa implikasi yang tidak kecil bagi perkembangan kota Palembang. Dengan lahirnya Undang-undang Desentralisasi, yaitu terbentuknya kota otonom, Maka pada tanggal 1 April, kota Palembang dijadikan Gemeente (Kota besar zaman kolonial ) yang ditegaskan dalam Staatblad 1906 No. 126.[14] Dengan demikian Palembang yang telah diubah menjadi Keresidenan Palembang sejak tahun 1906 menjadi Stadsgemeente (Kota besar Zaman Kolonial) yang dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota pada masa Kolonial). Meskipun demikian pada faktanya secara fisik kebijakan membangun Palembang baru dimulai setelah 13 tahun kemudian.
Pada tahun 1919 dimulailah pembangunan Palembang. Pembangunan ini lebih bertujuan untuk menghapus memori-memori masyarakat tentang Kesultanan Palembang dan menggantinya dengan simbol-simbol kolonial daripada untuk melakukan pembaruan di Palembang. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk menciptakan fasilitas-fasilitas bagi pemerintah kolonial. Maka sebelum abad ke-20 di sebelah barat keraton kuto besak dibangunlah gedung societiet yang kini merupakan Gedung Pamong Peradja, schouwburg, dan bioskop Flora serta Pasar 16 ilir mulai dibangun los-los yang lebih banyak.[15]
Ketika memasuki awal abad ke-20 keberadaan Gemeente semakin menjadikan kota Palembang sebagai kota yang bernuansa modern dengan konstruksi ruang fisik yang indah dan teratur. Secara umum menurut rancangan Gemeente, Palembang di bagi menjadi empat wilayah pembangunan. Pertama zona perniagaan, yang memanjang sepanjang aliran sungai bagian ilir termasuk pasar 16 Ilir yang di jadikan sebagai pasar Induk.[16] Hal ini dikarenakan Pasar 16 ilir telah dikelola oleh Gemeente dengan baik hingga berubah menjadi Pasar Modern. Los-los lama yang di bangun oleh Pedagang Arab kini telah diganti dan diperbaiki dengan Los-los pasar baru yang dianggap jauh lebih baik dan hiegenis dari pada bangunan sebelumnya. kedua zona industri, memanjang sepanjang aliran sungai musi pada bagian ulu, ketiga zona perkantoran, yang berada di pusat kota, keempat zona pemukiman, yang terletak di bagian barat pusat kota.[17]
Dapat dikatakan Pasar 16 ilir adalah pasar pertama dan menjadi pusat seluruh aktivitas perdagangan di Palembang. Petani yang berasal dari pedalaman membawa seluruh hasil tanaman dagang ke Pasar 16 Ilir. Sebaliknya para pedagang menikmati untung melalui tukar menukar komoditas. Hampir seluruh suplai produk dari uluan langsung ditujukan ke pasar pusat. Oleh karena itu pada 1920-an pasar 16 ilir menjadi pusat perdagangan karet terpenting, dari sini dilakukan ekspor ke Singapura yang pada saat itu menjadi pusat industri karet yang mengelola lateks menjadi sheets.
Memasuki dasawarsa kedua abad ke-20, tahun 1930-an Palembang muncul sebagai Wingewesten atau daerah untung yang merupakan sebutan-sebutan untuk daerah-daerah yang dieksploitasi secara ekonomi. Realitas konstruksi kota dagang dengan adanya hal ini semakin mendapat tempatnya ketika kemajuan dalam perdagangan ekspor karet. Berharganya rubber, getah karet mebuat palembang menjadi kota yang ramai dengan banyak sekali perubahan-perubahan yang ada. Konstruksi ideologis bekerja dengan baik dalam pembentukan berbagai “Bangunan Ekonomi”. Keberadaan bangunan tersebut tidak lepas, berbarengan dengan penyediaan segala fasilitas kota untuk dunia perdagangan. Pasar di Palembang mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Pada tahun 1932 terdapat dua kategori pasar yaitu pasar besar dan pasar kecil.[18] Pasar besar terdapat di 16 Ilir dan Pasar Sekanak di 28 Ilir. Sedangkan pasar kecil berada di Pasar Kuto daerah 10 ilir, Pasar 10 ulu, pasar kertapati, dan pasar Lemabang di 2  Ilir.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana Sejarah Pasar 16 Ilir Palembang.?
2.      Bagaimana Perubahan dan Perkembangan Pasar 16 Ilir pada masa Kolonial.?
3.      Bagaimana peran dan fungsi Pasar 16 Ilir pada masa Kolonial Belanda.?

C.     Definisi Operasional
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu, Sejarah Pasar 16 Ilir Palembang Pada Masa Kolonial: dari Pasar Tradisional Menuju Pasar Modern. Maka definisi operasionalnya adalah sebagai berikut:
Sejarah adalah cerita atau uraian peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau.[19] Pengertian yang lebih komperhensip tentang sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia. Defenisi ini mengandung dua makna sekaligus yakni sejarah sebagai kisah atau cerita dan sebagai peristiwa. Sejarah sebagai kisah merupakan sejarah dalam pengertian secara subjektif, karena peristiwa masa lalu itu telah menjadi pengetahuan manusia. Sedangkan sejarah sebagai peristiwa merupakan sejarah secara objektif, sebab peristiwa masa lalu itu sebagai kenyataan yang masih diluar pengetahuan manusia.[20]
Kemudian makna pasar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat orang berjual beli.[21] Masa Kolonial adalah masa di mana penjajah Belanda berhasil menanamkan kekuasaannya di Palembang yaitu dimulai pada tahun 1821 ketika Belanda berhasil merebut keraton Palembang[22] dan berakhir pada tahun 1942 ketika pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada balatentara Dai Nippon Jepang.[23] Tradisional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun menurut tradisi.[24]
D.    Tinjauan Pustaka
Dalam Buku Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Pelembang 1824-1864 yang merupakan hasil penelitian Supriyanto telah diungkap bagaimana perkembangan pesat Perdagangan di Palembang yang disebabkan oleh letak Pelabuhan Palembang yang strategis dan aman serta hasil-hasil bumi dari daerah iliran maupun uluan baik berupa tanaman-tanaman seperti kayu, lada, cengkeh kopi maupun yang berupa tambang minyak, batu bara dan timah yang semakin meningkat. Buku tersebut mengangkat tentang keadaan sosial ekonomi Palembang pada masa Kolonial maka hal ini sangat berkaitan erat dengan penelitian yang akan dilakukan karena dalam penelitian Sejarah Pasar 16 Ilir Palembang: dari Pasar Tradisional Menuju Pasar Modern juga mengangkat tema sosial ekonomi dimana didalamnya akan digambarkan bagaimana keadaan perekonomian  Palembang pada masa kolonial Belanda, serta bagaimana gejolak sosial masyarakat yang mengakibatkan semakin meningkat dan berkembangnya perdagangan didalam kota Palembang.
Karya lainnya yang menjadi acuan dari penelitian ini adalah Buku yang dihasilkan oleh Dedi Irwanto Muhammad Santun dengan judul Venesia Dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang Dari Kolonial Sampai Pasca Kolonial. Dari buku tersebut digambarkan bagaimana riwayat Palembang sebagai sebuah kota yang menganut budaya Riverine Culture , serta metamorfosis Palembang pada masa Belanda yang menyebabkan Palembang tidak hanya mengalami konstruksi fisik tetapi juga konstruksi ideologis. senada dengan inti dari buku tersebut penelitian ini pun mengamati tentang perubahan Pasar 16 Ilir yang dari pasar tradisional menuju pasar modern. dimana pasar 16 Ilir termasuk  zona perdagangan modern dalam konsep perencanaan pembangunan Gemeente, rekonstruksi besar-besaran terjadi disini yang meliputi fisik, fungsi serta peran.
E.     Kerangka Teori
Sesuai dengan keadaan Pasar 16 Ilir yang mengalami perubahan dari pasar tradisional menjadi pasar modern maka akan dipakai teori modernisasi dari Wilbert Moore. Modernisasi merupakan proses bertahap dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi. Pada masa tradisional hanya mengalami sedikit perubahan social atau malah mengalami kemandegan sama sekali. Kemudian perlahan-lahan Negara mengalami perubahan dengan adanya pengaruh ekonomi dari kaum usahawan seperti perluasan pasar dan pembangunan industri.
Wilbert Moore mendefinisikan modernisasi sebagai transformasi total masyarakat tradisional atau pra-modern ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi social yang menyerupai kemajuan dunia barat yang ekonominya makmur dan situasi politiknya stabil.
F.      Metode Penelitian
Pasar 16 Ilir dalam pandangan masyarakat saat ini merupakan pasar besar yang terletak pada jantung Kota Palembang namun lambat laun bukan tidak mungkin Pasar 16 Ilir akan  tersingkirkan oleh perkembangan modernitas hingga pasar ini dianggap sebagai tempat kelas dua. Pasar-pasar telah kehilangan peminatnya dengan semakin banyaknya Mall yang didirikan di kota Palembang. Namun dari pandangan Sejarah, Pasar 16 Ilir memiliki keistimewaannya sendiri, karena ia merupakan simbol dari kehidupan perekonomian Palembang sejak zaman kesultanan hingga kini. Dalam menyikapi peninggalan sejarah yang ada di daerah Palembang ini maka penulis menganggap perlu ntuk mengulas bagaimana Sejarah pembangunan Pasar 16 Ilir. Untuk dapat menggambarkan dengan jelas serpihan-serpihan masa lalu tersebut maka tidak ada cara lain selain diadakannya penelitian terhadap Pasar 16 Ilir. Data-data tentang pasar 16 Ilir di analisis dan di sistematiskan pemikirannya agar menjadi aman dalam penggambaran peristiwa masa silam.
1.      Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripsi kualitatif dan menggunakan pendekatan sejarah atau Historical Approach, yaitu merekonstruksi sejarah dengan mengumpulkan sumber-sumber data yang berkenaan dengan sejarah pembangunan Pasar 16 Ilir pada masa kolonial Belanda..
2.      Sumber Data
a.       Data Primer, yaitu data-data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian yang akan ditulis seperti sejarahwan Palembang, budayawan-budayawan Palembang dan pihak-pihak lain yang mengetahui tentang sejarah Pasar 16 Ilir Palembang.
b.      Data Sekunder, yaitu data penunjang yang diperoleh dari buku-buku, dan arsip yang berkaitan dengan penelitian ini.
Dalam pengambilan data dari berbagai sumber menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
·         Heuristik
Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah yaitu mencari dan menggumpulkan berbagai sumber data yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti.
·         Kritik Sumber
Keritik sumber atau Verifikasi adalah tahap kedua dalam penelitian sejarah dimana data-data yang berhasil dikumpulkan untuk penelitian diseleksi melalui pegecekan yang disebut dengan keritik.[25]
3.      Analisis Data
Analisis data yaitu proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik, transkip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk dipahami agar dapat dipersentasikan.[26] Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif.
Dalam menganalisis data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut     :
a.       Interpretasi
Dari berbagai fakta yang telah diperoleh, kemudian dirangkai agar mempunyai struktur. Interpretasi ini perlu dilakukan untuk mendapatkan penafsiran data yang jelas.
b.      Historiografi
Setelah berhasil melakukan penafsiran, langkah akhir yang dilakukan yaitu menuliskan hasilnya. Dalam hal ini penulis menuangkan tulisannya dalam bentuk skripsi yang terdiri dalam empat bab. Dari empat bab, tiap-tiap bab memiliki beberapa seb bahasan tersendiri.

G.    Sistematika Penulisan
Bab I     : Adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, defenisi operasional, metodelogi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II    : Diungkapkan gambaran umum keresidenan Palembang yang mencakup di dalamnya fakta geografi, keadaan sosial ekonomi, dan sosial budaya.
Bab III  : Membahas mengenai asal usul Pasar 16 Ilir. serta bagaimana keadaan pasar 16 Ilir sebelum masuknya kolonial Belanda. (1921-1942). Serta memaparkan faktor-faktor diadakannya pembangunan Pasar 16 Ilir oleh Belanda. Juga bagaimana perubahan tata ruang dan fungsi Pasar 16 Ilir pada masa Kolonial  (1921-1942).
Bab IV  : Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.




H.    Daftar Pustaka
Alfian T. Ibrahim, dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan    Kolonialisme di Daerah Sumatera Selatan. Palembang: Departemen       Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.
Arifin Imron. Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan       Keagamaan . Jakarta:             TTp Kalimasahada Press.1994.
Bambang Budi Utomo dan Djohan Hanafiah. Kota Palembang: Dari Wanua Sriwijaya Menuju Palembang Modern. Palembang, Palembang: Pemerintah Kota Palembang. 2010.
C.S.T. Kansil dan Julianto.  Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Dudung Abdurahman, Metodelogi Penelitian Sejarah, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Jeroen Peeters. Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-  1942. Jakarta: INIS, 1997.
Heilbroner Robert L. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Jakarta: PT. Bumi          Aksara,1994.
Santun Dedi Irwanto Muhammad. Venesia Dari Timur: Memaknai Produksi dan   Reproduksi      Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai       Pascakolonial. Yogyakarta: Ombak, 2011.
Sjamsudin Helius, Metodelogi Sejarah. Yogyakarta: Eja Publisher, 2010.
Supriyanto. Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Palembang 1824-1864.      Yogyakarta:    Ombak. 2013



                [1] Robert L. Heilbroner, Terbentuknya Masyarakat Ekonomi (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1994), h. 20.
[2] Venesia hlm 27
[3] Dedi Irwanto Muhammad Santun, Venesia dari Timur:Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial. (Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 35.
[4] Bambang Budi Utomo dan Djohan Hanafiah, Kota Palembang: Dari Wanua Sriwijaya Menuju Palembang Modern. Palembang (Palembang: Pemerintah Kota Palembang, 2010), h. 261
                [5] Jeroen Peeters, Kaum Tuo- Kaum Mudo perubahan Religius Di Palembang (Jakarta: INIS, 1997),  h. 9.
                [6] Supriyanto, Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Palembang 1824-1864 (Yogyakarta: Ombak, 2013),  h.
                [7] Ibid, h. 41
                [8] T. Ibrahim alfian, dkk., Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sumatra Selatan  (Palembang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), h. 62
                [9] Jeroen Peeters, 1997, Op.cit, Hal. 60-61
                [10]  Ibid, h. 75
                [11] Ibid, h. 61
                [12] Ibid, h. 17
                [13] Ibid. h. 17
            [14] T. Ibrahim alfian, dkk., Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sumatra Selatan  (Palembang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), h. 60
                [15]. Dedi Irwanto Muhammad Santun, Venesia dari Timu :Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial. (Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 68
                [16] Ibid, h. 60
                [17] Ibid, h. 61
[18] Ibid, h. 68
[19] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.998
[20] Dudung Abdurahman, Metodelogi Penelitian Sejarah (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, h. 18.
[21] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.1011.
[22] Jeroen Peeters, Kaum Tuo- Kaum Mudo perubahan Religius Di Palembang (Jakarta: INIS, 1997),  h. 9.
[23] C.S.T. Kansil dan Julianto, Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: Erlangga, 1982), h.47
[24] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.1201
            [25] Helius Sjamsudin, Metodelogi Sejarah. (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), h, 59
                [26] Imron Arifin, Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan (Jakarta: TTp Kalimasahada Press,1994), h.77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar